Atlantis ? ?
Taemin ~
Sun 11 Apr 2010 - 14:18
“Out of Sundaland” : Perdebatan Terbaru
Rekan-rekan yang suka membaca atau mempelajari buku-buku tentang migrasi manusia modern berdasarkan
analisis genetika molekuler (DNA), pasti pernah membaca nama Stephen Oppenheimer. Oppenheimer adalah
salah satu tokoh utama bidang ini, yang produktif menuliskan hasil-hasil risetnya. Saat ini,
Oppenheimer yang semula seorang dokter anak dan pernah bertugas di Afrika, Malaysia, dan Papua New
Guinea; adalah research associate di Institute of Human Sciences, Oxford University.
Salah satu bukunya yang terkenal “Out of Eden : the Peopling of the World” (2004), cetakan terbarunya
baru saya beli dua minggu lalu. Ini adalah sebuah buku yang komprehensif tentang sejarah penghunian
semua daratan di Bumi oleh manusia modern berdasarkan analisis DNA pada semua bangsa. Oppenheimer
memang pernah terlibat dalam suatu proyek raksasa untuk pemetaan genome manusia seluruh dunia. Dari
situ ia mendapatkan data untuk menyusun bukunya. Melalui buku ini, kita bisa menebak dengan mudah
bahwa Oppenheimer adalah seorang pembela pemikiran migrasi manusia : Out of Africa, dan menyerang
Multiregional. Saya tak akan menceritakan buku tersebut, saya akan bercerita tentang bukunya
yang lain, yang menyulut perdebatanl.
Tahun 1998, Oppenheimer menerbitkan buku yang menggoncang kalangan ilmuwan arkeologi dan
paleoantropologi,”Eden in the East : The Drowned Continent of Southeast Asia”. Buku ini penting bagi
kita sebab Oppenheimer mendasarkan tesisnya yang kontroversial itu atas geologi Sundaland. Secara
singkat, buku ini mengajukan tesis bahwa Sundaland adalah Taman Firdaus (Taman Eden), suatu kawasan
berbudaya tinggi, tetapi kemudian tenggelam, lalu para penghuninya mengungsi ke mana-mana : Eurasia,
Madagaskar, dan Oseania dan menurunkan ras-ras yang baru. Dari buku Oppenheimer inilah pernah muncul
sinyalemen bahwa Sundaland adalah the Lost Atlantis – benua berkebudayaan maju yang tenggelam.
Tesis Oppenheimer (1998) jelas menjungkirbalikkan konsep selama ini bahwa orang-orang Indonesia
penghuni Sundaland berasal dari daratan utama Asia, bukan sebaliknya. Apakah Oppenheimer benar ?
Penelitian dan perdebatan atas tesis Oppenheimer telah berjalan 10 tahun. Saya ingin menceritakan
beberapa perdebatan terbaru. Sebelumnya, saya ingin sedikit meringkas tesis Oppenheimer (1998) itu.
Dalam “Eden in the East: the Drowned Continent of Southeast Asia”, Oppenheimer berhipotesis bahwa
bangsa-bangsa Eurasia punya nenek moyang dari Sundaland. Hipotesis ini ia bangun berdasarkan
penelitian atas geologi, arkeologi, genetika, linguistk, dan folklore atau mitologi. Berdasarkan
geologi, Oppenheimer mencatat bahwa telah terjadi kenaikan muka laut dengan menyurutnya Zaman Es
terakhir. Laut naik setinggi 500 kaki pada periode 14.000-7.000 tahun yang lalu dan telah
menenggelamkan Sundaland. Arkeologi membuktikan bahwa Sundaland mempunyai kebudayaan yang tinggi
sebelum banjir terjadi. Kenaikan muka laut ini telah menyebabkan manusia penghuni Sundaland menyebar
ke mana-mana mencari daerah yang tinggi. Terjadilah gelombang besar migrasi ke
arah Eurasia.
Oppenheimer melacak jalur migrasi ini berdasarkan genetika, linguistik, dan folklore. Sampai sekarang
orang-orang Eurasia punya mitos tentang Banjir Besar itu, menurut Oppenheimer itu diturunkan dari
nenek moyangnya. Hipotesis Oppenheimer (1998) yang saya sebut ”Out of Sundaland” punya implikasi yang
luas. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa Taman Firdaus (Eden) itu bukan di Timur Tengah, tetapi justru
di Sundaland. Adam dan Hawa bukanlah ras Mesopotamia, tetapi ras Sunda (!). Nah…implikasinya luas
bukan ? Hipotesis Oppenheimer (1998) segera menyulut perdebatan baik di kalangan ahli genetika,
linguistik,
maupun mitologi. Saya akan meringkas beberapa perdebatan pro dan kontra yang terbaru (2007-2008). Di
buku-bukunyanya yang terbaru (Out of Eden, 2004; dan Origins of the British, 2007), Oppenheimer tak
menyebut sekali pun tesis Sundaland-nya itu.
Sanggahan terbaru datang dari bidang mitologi dalam sebuah Konferensi
Internasional Association for Comparative Mythology yang berlangsung di
Edinburgh 28-30 Agustus 2007. Dalam pertemuan itu, Wim van Binsbergen, seorang ahli mitologi dari
Belanda, mengajukan sebuah makalah berjudul ”A new Paradise myth? An Assessment of Stephen
Oppenheimer’s Thesis of the South East Asian Origin of West Asian Core Myths, Including Most of the
Mythological Contents of Genesis 1-11”. Makalah ini mengajukan keberatan-keberatan atas tesis
Oppenheimer bahwa orang-orang Sundaland sebagai nenek moyang orang-orang Asia Barat. Binsbergen (2007)
menganalisis argumennya berdasarkan complementary archaeological, linguistic, genetic, ethnographic,
dan comparative mythological perspectives.
Menurut Binsbergen (2007), Oppenheimer terutama mendasarkan skenario
Sundaland-nya berdasarkan mitologi. Pusat mitologi Asia Barat (Taman Firdaus, Adam dan Hawa, kejatuhan
manusia dalam dosa, Kain dan Habil, Banjir Besar, Menara Babel) dihipotesiskan Oppenheimer sebagai
prototip mitologi Asia Tenggara/Oseania, khususnya Sundaland. Meskipun Oppenheimer telah menerima
tanggapan positif dari para ahli arkeologi yang punya spesialisasi Asia Tenggara, Oppenheimer tak
punya bukti kuat atau penelitian detail untuk arkeologi trans-kontinental dari Sundaland ke Eurasia.
Binsbergen (2007) menantang hipotesis Oppenheimer atas argument detailnya menggunakan comparative
mythology. Beberapa keberatan atas hipotesis tersebut :
(1) keberatan metodologi (bagaimana mitos di Sundaland/Oseania yang umurnya hanya abad ke-19 AD dapat
menjadi nenek moyang mitos di Asia Barat yang umurnya 3000 tahun BC ?),
(2) kesulitan teoretis akan terjadi membandingkan dengan yakin mitos yang umurnya terpisah ribuan
tahun dan jaraknya lintas-benua, juga yang sebenarnya isi detailnya berbeda;
(3) pandangan monosentrik (misal dari Sundaland) saja sudah tak sesuai dengan sejarah kebudayaan
manusia yang secara anatomi modern (lebih muda daripada Paleolitikum bagian atas);
(4) Oppenheimer tak memasukkan unsur katastrofi alam yang bisa mengubah jalur migrasi manusia.;
(5) mitos bahwa Banjir Besar menutupi seluruh dunia harus ditafsirkan
atas pandangan dunia saat itu, bukan pandangan dunia seperti sekarang.
Dalam pertemuan comparative mythology sebelumnya (Kyoto, 2005, Beijing 2006), Binsbergen mengajukan
pandangan yang lebih luas dan koheren tentang sejarah panjang Old World mythology yang mengalami
transmisi yang komplek dan multisentrik, tak rigid monosentrik seperti hipotesis Oppenheimer (1998).
Winsbergen juga mendukung tesisnya itu berdasarkan genetika molekuler menggunakan mitochondrial DNA
type B.
Itulah sanggahan terbaru atas tesis Oppenheimer (1998). Dukungan terbaru untuk hipotesis Oppenheimer
(1998), baru-baru ini datang dari
sekelompok peneliti arkeogenetika yang sebagian merupakan rekan sejawat
Oppenheimer. Kelompok peneliti dari University of Oxford dan University of Leeds ini mengumumkan hasil
peneltiannya dalam jurnal “Molecular Biology and Evolution” edisi Maret dan Mei 2008 dalam makalah
berjudul “Climate Change and Postglacial Human Dispersals in Southeast Asia” (Soares et al., 2008) dan
“New DNA Evidence Overturns Population Migration Theory in Island Southeast Asia” (Richards et al.,
2008).
Richards et al. (2008) berdasarkan penelitian DNA menantang teori konvensional saat ini bahwa penduduk
Asia Tenggara saat ini (Filipina, Indonesia, dan Malaysia) datang dari Taiwan 4000 (Neolithikum) tahun
yang lalu. Tim peneliti menunjukkan justru yang terjadi adalah sebaliknya dan lebih awal, bahwa
penduduk Taiwan berasal dari penduduk Sundaland yang bermigrasi akibat Banjir Besar di Sundaland.
Pemecahan garis-garis mitochondrial DNA (yang diwarisi para perempuan) telah berevolusi cukup lama di
Asia Tenggara sejak manusia modern pertama kali dating ke wilayah ini sekitar 50.000 tahun yang lalu.
Ciri garis-garis DNA menunjukkan penyebaran populasi pada saat yang bersamaan dengan naiknya mukalaut
di wilayah ini dan juga menunjukkan migrasi ke Taiwan, ke timur ke New Guinea dan Pasifik, dan ke
barat ke daratan utama Asia Tenggara – dalam 10.000 tahun.
Sementara itu Soares et al. (2008) menunjukkan bahwa haplogroup E, suatu komponen penting dalam
keanekaragaman mtDNA (DNA mitokondria), berevolusi in situ selama 35.000 tahun terakhir, dan secara
dramatik tiba-tiba menyebar ke seluruh pulau-pulau Asia Tenggara pada periode sekitar awal Holosen,
pada saat yang bersamaan dengan tenggelamnya Sundaland menjadi laut-laut Jawa, Malaka, dan sekitarnya.
Lalu komponen ini mencapai Taiwan dan Oseania lebih baru, sekitar 8000 tahun yang lalu. Ini
membuktikan bahwa global warming dan sea-level rises pada ujung Zaman Es 15.000–7.000 tahun yang lalu,
sebagai penggerak utama human diversity di wilayah ini.
Oppenheimer dalam bukunya “Eden in the East” (1998) itu berhipotesis bahwa ada tiga periode banjir
besar setelah Zaman Es yang memaksa para penghuni Sundaland mengungsi menggunakan kapal atau berjalan
ke wilayah-wilayah yang tidak banjir. Dengan menguji mitochondrial DNA dari orang-orang Asia Tenggara
dan Pasifik, kita sekarang punya bukti kuat yang mendukung Teori Banjir. Itu juga mungkin sebabnya
mengapa Asia Tenggara punya mitos yang paling kaya tentang Banjir Besar dibandingkan bangsa-bangsa
lain.
Nah, begitulah, cukup seru mengikuti perdebatan yang meramu geologi, genetika, biologi molekuler,
linguistik, dan mitologi ini. Pihak mana yang mau didukung atau disanggah ? Sebaiknya, masuklah lebih
detail ke masalahnya agar argument kita kuat, begitulah menilai perdebatan.
sumber : http://atlantis-lemuria-indonesia.blogspot.com/2009/11/out-of-sundaland-perdebatan-terbaru.html
Rekan-rekan yang suka membaca atau mempelajari buku-buku tentang migrasi manusia modern berdasarkan
analisis genetika molekuler (DNA), pasti pernah membaca nama Stephen Oppenheimer. Oppenheimer adalah
salah satu tokoh utama bidang ini, yang produktif menuliskan hasil-hasil risetnya. Saat ini,
Oppenheimer yang semula seorang dokter anak dan pernah bertugas di Afrika, Malaysia, dan Papua New
Guinea; adalah research associate di Institute of Human Sciences, Oxford University.
Salah satu bukunya yang terkenal “Out of Eden : the Peopling of the World” (2004), cetakan terbarunya
baru saya beli dua minggu lalu. Ini adalah sebuah buku yang komprehensif tentang sejarah penghunian
semua daratan di Bumi oleh manusia modern berdasarkan analisis DNA pada semua bangsa. Oppenheimer
memang pernah terlibat dalam suatu proyek raksasa untuk pemetaan genome manusia seluruh dunia. Dari
situ ia mendapatkan data untuk menyusun bukunya. Melalui buku ini, kita bisa menebak dengan mudah
bahwa Oppenheimer adalah seorang pembela pemikiran migrasi manusia : Out of Africa, dan menyerang
Multiregional. Saya tak akan menceritakan buku tersebut, saya akan bercerita tentang bukunya
yang lain, yang menyulut perdebatanl.
Tahun 1998, Oppenheimer menerbitkan buku yang menggoncang kalangan ilmuwan arkeologi dan
paleoantropologi,”Eden in the East : The Drowned Continent of Southeast Asia”. Buku ini penting bagi
kita sebab Oppenheimer mendasarkan tesisnya yang kontroversial itu atas geologi Sundaland. Secara
singkat, buku ini mengajukan tesis bahwa Sundaland adalah Taman Firdaus (Taman Eden), suatu kawasan
berbudaya tinggi, tetapi kemudian tenggelam, lalu para penghuninya mengungsi ke mana-mana : Eurasia,
Madagaskar, dan Oseania dan menurunkan ras-ras yang baru. Dari buku Oppenheimer inilah pernah muncul
sinyalemen bahwa Sundaland adalah the Lost Atlantis – benua berkebudayaan maju yang tenggelam.
Tesis Oppenheimer (1998) jelas menjungkirbalikkan konsep selama ini bahwa orang-orang Indonesia
penghuni Sundaland berasal dari daratan utama Asia, bukan sebaliknya. Apakah Oppenheimer benar ?
Penelitian dan perdebatan atas tesis Oppenheimer telah berjalan 10 tahun. Saya ingin menceritakan
beberapa perdebatan terbaru. Sebelumnya, saya ingin sedikit meringkas tesis Oppenheimer (1998) itu.
Dalam “Eden in the East: the Drowned Continent of Southeast Asia”, Oppenheimer berhipotesis bahwa
bangsa-bangsa Eurasia punya nenek moyang dari Sundaland. Hipotesis ini ia bangun berdasarkan
penelitian atas geologi, arkeologi, genetika, linguistk, dan folklore atau mitologi. Berdasarkan
geologi, Oppenheimer mencatat bahwa telah terjadi kenaikan muka laut dengan menyurutnya Zaman Es
terakhir. Laut naik setinggi 500 kaki pada periode 14.000-7.000 tahun yang lalu dan telah
menenggelamkan Sundaland. Arkeologi membuktikan bahwa Sundaland mempunyai kebudayaan yang tinggi
sebelum banjir terjadi. Kenaikan muka laut ini telah menyebabkan manusia penghuni Sundaland menyebar
ke mana-mana mencari daerah yang tinggi. Terjadilah gelombang besar migrasi ke
arah Eurasia.
Oppenheimer melacak jalur migrasi ini berdasarkan genetika, linguistik, dan folklore. Sampai sekarang
orang-orang Eurasia punya mitos tentang Banjir Besar itu, menurut Oppenheimer itu diturunkan dari
nenek moyangnya. Hipotesis Oppenheimer (1998) yang saya sebut ”Out of Sundaland” punya implikasi yang
luas. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa Taman Firdaus (Eden) itu bukan di Timur Tengah, tetapi justru
di Sundaland. Adam dan Hawa bukanlah ras Mesopotamia, tetapi ras Sunda (!). Nah…implikasinya luas
bukan ? Hipotesis Oppenheimer (1998) segera menyulut perdebatan baik di kalangan ahli genetika,
linguistik,
maupun mitologi. Saya akan meringkas beberapa perdebatan pro dan kontra yang terbaru (2007-2008). Di
buku-bukunyanya yang terbaru (Out of Eden, 2004; dan Origins of the British, 2007), Oppenheimer tak
menyebut sekali pun tesis Sundaland-nya itu.
Sanggahan terbaru datang dari bidang mitologi dalam sebuah Konferensi
Internasional Association for Comparative Mythology yang berlangsung di
Edinburgh 28-30 Agustus 2007. Dalam pertemuan itu, Wim van Binsbergen, seorang ahli mitologi dari
Belanda, mengajukan sebuah makalah berjudul ”A new Paradise myth? An Assessment of Stephen
Oppenheimer’s Thesis of the South East Asian Origin of West Asian Core Myths, Including Most of the
Mythological Contents of Genesis 1-11”. Makalah ini mengajukan keberatan-keberatan atas tesis
Oppenheimer bahwa orang-orang Sundaland sebagai nenek moyang orang-orang Asia Barat. Binsbergen (2007)
menganalisis argumennya berdasarkan complementary archaeological, linguistic, genetic, ethnographic,
dan comparative mythological perspectives.
Menurut Binsbergen (2007), Oppenheimer terutama mendasarkan skenario
Sundaland-nya berdasarkan mitologi. Pusat mitologi Asia Barat (Taman Firdaus, Adam dan Hawa, kejatuhan
manusia dalam dosa, Kain dan Habil, Banjir Besar, Menara Babel) dihipotesiskan Oppenheimer sebagai
prototip mitologi Asia Tenggara/Oseania, khususnya Sundaland. Meskipun Oppenheimer telah menerima
tanggapan positif dari para ahli arkeologi yang punya spesialisasi Asia Tenggara, Oppenheimer tak
punya bukti kuat atau penelitian detail untuk arkeologi trans-kontinental dari Sundaland ke Eurasia.
Binsbergen (2007) menantang hipotesis Oppenheimer atas argument detailnya menggunakan comparative
mythology. Beberapa keberatan atas hipotesis tersebut :
(1) keberatan metodologi (bagaimana mitos di Sundaland/Oseania yang umurnya hanya abad ke-19 AD dapat
menjadi nenek moyang mitos di Asia Barat yang umurnya 3000 tahun BC ?),
(2) kesulitan teoretis akan terjadi membandingkan dengan yakin mitos yang umurnya terpisah ribuan
tahun dan jaraknya lintas-benua, juga yang sebenarnya isi detailnya berbeda;
(3) pandangan monosentrik (misal dari Sundaland) saja sudah tak sesuai dengan sejarah kebudayaan
manusia yang secara anatomi modern (lebih muda daripada Paleolitikum bagian atas);
(4) Oppenheimer tak memasukkan unsur katastrofi alam yang bisa mengubah jalur migrasi manusia.;
(5) mitos bahwa Banjir Besar menutupi seluruh dunia harus ditafsirkan
atas pandangan dunia saat itu, bukan pandangan dunia seperti sekarang.
Dalam pertemuan comparative mythology sebelumnya (Kyoto, 2005, Beijing 2006), Binsbergen mengajukan
pandangan yang lebih luas dan koheren tentang sejarah panjang Old World mythology yang mengalami
transmisi yang komplek dan multisentrik, tak rigid monosentrik seperti hipotesis Oppenheimer (1998).
Winsbergen juga mendukung tesisnya itu berdasarkan genetika molekuler menggunakan mitochondrial DNA
type B.
Itulah sanggahan terbaru atas tesis Oppenheimer (1998). Dukungan terbaru untuk hipotesis Oppenheimer
(1998), baru-baru ini datang dari
sekelompok peneliti arkeogenetika yang sebagian merupakan rekan sejawat
Oppenheimer. Kelompok peneliti dari University of Oxford dan University of Leeds ini mengumumkan hasil
peneltiannya dalam jurnal “Molecular Biology and Evolution” edisi Maret dan Mei 2008 dalam makalah
berjudul “Climate Change and Postglacial Human Dispersals in Southeast Asia” (Soares et al., 2008) dan
“New DNA Evidence Overturns Population Migration Theory in Island Southeast Asia” (Richards et al.,
2008).
Richards et al. (2008) berdasarkan penelitian DNA menantang teori konvensional saat ini bahwa penduduk
Asia Tenggara saat ini (Filipina, Indonesia, dan Malaysia) datang dari Taiwan 4000 (Neolithikum) tahun
yang lalu. Tim peneliti menunjukkan justru yang terjadi adalah sebaliknya dan lebih awal, bahwa
penduduk Taiwan berasal dari penduduk Sundaland yang bermigrasi akibat Banjir Besar di Sundaland.
Pemecahan garis-garis mitochondrial DNA (yang diwarisi para perempuan) telah berevolusi cukup lama di
Asia Tenggara sejak manusia modern pertama kali dating ke wilayah ini sekitar 50.000 tahun yang lalu.
Ciri garis-garis DNA menunjukkan penyebaran populasi pada saat yang bersamaan dengan naiknya mukalaut
di wilayah ini dan juga menunjukkan migrasi ke Taiwan, ke timur ke New Guinea dan Pasifik, dan ke
barat ke daratan utama Asia Tenggara – dalam 10.000 tahun.
Sementara itu Soares et al. (2008) menunjukkan bahwa haplogroup E, suatu komponen penting dalam
keanekaragaman mtDNA (DNA mitokondria), berevolusi in situ selama 35.000 tahun terakhir, dan secara
dramatik tiba-tiba menyebar ke seluruh pulau-pulau Asia Tenggara pada periode sekitar awal Holosen,
pada saat yang bersamaan dengan tenggelamnya Sundaland menjadi laut-laut Jawa, Malaka, dan sekitarnya.
Lalu komponen ini mencapai Taiwan dan Oseania lebih baru, sekitar 8000 tahun yang lalu. Ini
membuktikan bahwa global warming dan sea-level rises pada ujung Zaman Es 15.000–7.000 tahun yang lalu,
sebagai penggerak utama human diversity di wilayah ini.
Oppenheimer dalam bukunya “Eden in the East” (1998) itu berhipotesis bahwa ada tiga periode banjir
besar setelah Zaman Es yang memaksa para penghuni Sundaland mengungsi menggunakan kapal atau berjalan
ke wilayah-wilayah yang tidak banjir. Dengan menguji mitochondrial DNA dari orang-orang Asia Tenggara
dan Pasifik, kita sekarang punya bukti kuat yang mendukung Teori Banjir. Itu juga mungkin sebabnya
mengapa Asia Tenggara punya mitos yang paling kaya tentang Banjir Besar dibandingkan bangsa-bangsa
lain.
Nah, begitulah, cukup seru mengikuti perdebatan yang meramu geologi, genetika, biologi molekuler,
linguistik, dan mitologi ini. Pihak mana yang mau didukung atau disanggah ? Sebaiknya, masuklah lebih
detail ke masalahnya agar argument kita kuat, begitulah menilai perdebatan.
sumber : http://atlantis-lemuria-indonesia.blogspot.com/2009/11/out-of-sundaland-perdebatan-terbaru.html
_________________
________________________________
Pencetus Net Djodoh Indonesia
- Jangan dibuka:
________________________________
_________________
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik
|
|